Featured

0 Janji Suci!!! (part 3)

(Backpacker ke Bromo, 21-24 September 2012)
“Kayak mau MATI....” Fitri
Hari sudah mulai gelap, belerang makin ganas menyengat dan angin semakin dingin menusuk. Sekitar pukul 17.15 WIB mereka turun dari puncak. Turun jauh lebih sulit dan berbahaya daripada naik, sehingga memerlukan perhatian dan kewaspadaan ekstra. Sedikit saja lengah bisa terpelset, terkilir bahkan ngegelundung. Namun meskipun lebih sulit dan bahaya, perjalanan turun jauh lebih cepat dari naik. Dalam perjalanan turun Deddy dan Fitri akhirnya membeli rangkaian bunga edelweis yang dijajakan penjual bunga. Masing-masing membeli satu, katanya sih untuk seseorang, entah untuk siapa, tanyakan saja pada mereka atau pada rumput yang bergoyang. Sekitar pukul 17.55 WIB mereka telah sampai di tempat camping mereka, di kaki gunung Bromo dekat sebuah bangunan tempat pedagang berkumpul. Segera mereka mendirikan tenda yang memang mudah didirikan, tidak perlu simpul kanan, simpul kiri seperti yang diajarkan di Pramuka. Cukup rangkai dan cocokan pada tempatnya masing-masing. Dan berdirilah tenda mini kapasitas 3-4 orang ini.

Dengan barang seabreg dan 4 pria serta seorang wanita dengan badan yang tidak bisa dibilang kecil. Tentu tidak mungkin semuanya muat dalam tenda. Maka mereka sepakat, yang tidur di dalam tenda hanya 3 orang dan 2 lainnya di luar. Barang-barangpun dimasukkan semua ke dalam tenda. 3 orang yang di dalam tenda adalah Doni, pemilik tenda tentunya. Fitri, hawa satu-satunya yang perlu dilindungi. Dan yang terakhir adalah Faizal. Kenapa Faizal, bukan Deddy ataupun Uda. Tentu kita memutuskannya dengan bermusyawarah, ketiga orang tersebut sama-sama memilih untuk di luar dan mendahulukan yang lainnya. Dengan cukup kesatria Deddy dan Uda memaksa untuk tidur di luar dan Faizal di dalam bersama 2 orang lainnya. Sebenarnya tak semudah itu Faizal menerima ke”terpaksa”an itu, namun karena memang ada permintaan dari Fitri sendiri, maka yah terimalah kau! Faizal. Heran juga kenapa Faizal, kenapa Fitri gak meminta Uda untuk menemaninya, ataupun Deddy juga bisa toh. Hanya Fitri yang tahu dan biar dia saja yang tahu.

Jadilah Doni, Faizal dan Fitri di tenda, Deddy dan Uda di luar. Setelah beres-beres dan menata tenda sehingga tersekat jadi 2 bagian, untuk Faizal dan Doni, dan bagian lain untuk Fitri, #penting. Tent was ready. Mereka tidak lantas langsung tidur meski badan sudah memohon untuk berbaring. Udara malam semakin dingin, makin menusuk, jaket tebal saja kadang tak cukup menangkisnya. Syukurlah mereka membeli kayu bakar pada warga sekitar. Jadilah mereka menikmati sepertiga awal malam minggu di Bromo itu bersama-sama mengitari api unggun untuk menghangatkan badan. Menikmati cemilan yang cukup banyak dibawa Fitri khusus perjalanan ini. Bercerita dan saling mengorek informasi satu-sama lain, terutama Doni, orang yang baru saja #sodara kenal dan sudah bisa sedekat itu. Bercanda dan saling membully, tahu siapa korban dan pelakunya?, Faizal, Fitri, Uda dan Deddy masing-masing adalah korban dan disisilain mereka juga pelakunya. Bullyan mereka tidak jauh-jauh dari saling cocok-cocokkan(jodoh-jodohkan) antar anggota KKN, siapa dengan siapa? Biar mereka saja yang tahu dan Doni cukup tersenyum dan mengangguk setuju akan bullyan #sodara, seolah dia tahu saja.

Bintang semakin terang, bulan semakin bulat, dingin semakin tajam menusuk dan sayangnya kayu api unggun kian menipis. Mereka pun istirahat dan tidur di posisinya masing-masing. Malam tersebut merupakan salah satu malam yang panjang dan cukup “mencekam” bagi #sodara, bukan karena keindahan bintang dan bulan malam itu, tapi karena dinginnya malam begitu menusuk dan ganas. Di dalam tenda, yang seyogyanya dapat melindungi dari terpaan angin dan hembusan dingin, nyatanya tidak terbukti. Tidak ada satupun penghuni tenda yang benar-benar nyenyak istirahat, mereka paling lama dapat memejamkan mata hanya sekitar 2 jam saja lalu terjaga kembali, lalu mereka mencoba sangat keras untuk terpejam kembali dan lebih sering gagal. Dinginnya malam saat itu sangat ekstrim, Fitri saja yang telah memakai berlapis-lapis jaket dan kaos kaki masih sering menggerutu “kaya mau mati nih...” bayangkan yang di dalam tenda saja sudah merasa seperti itu, bagaimana Uda dan Deddy yang tidur di luar?. Ternyata mereka hanya bertahan beberapa jam saja tidur di luar yang hanya bermodalkan sleeping bag. Deddy dan Uda akhirnya menyerah pada dingin dan lebih memilih terjaga sepanjang malam bersama para penjual bunga mengelilingi api unggun.

Sapaan mentari adalah saat yang paling kita nanti, demi menghilangkan rasa dingin yang telah menghujam deras ke seluruh tubuh. Benar saja apa yang dikatakan penjaga objeck wisata Bromo tadi, suhu di Bromo mencapai dibawah nol derajat. Sampai-sampai sleeping bag Deddy dan Uda yang ditinggal di luar begitu saja, keesokan harinya sudah ber-es. Ada es yang menggumpal pada sela-sela sleeping bag mereka. Wow memang gila, dan memang bener-bener ada cerita, cerita nekat dan syukurlah selamat.
Sleepingbag ber ES, gila kan? mana ada yang mau tidur di es..
Menjelang sunrise, Bromo pagi itu sudah sangat sangat ramai oleh pengunjung, ada yang menggunakan sepeda motor, mobil pribadi dan lain sebagainya. Polusi suara mulai menjalar, keheningan waktu pagi yang diidamkan #sodara sirnah sudah. Tapi syukurlah mata mereka senantiasa dimanjakan oleh pemandangan yang luar biasa menakjubkan pagi itu. Saat mentari masih enggan untuk muncul, saat itu pula kabut masih penuh sesak mengitari kawasan Bromo. Saat saat kabut menyelimuti padang pasir Bromo, Gunung Bromo dan Pura terlihat seolah-olah muncul dari bawah awan dan berdiri kokoh di atas awan. Sungguh pemandangan yang menakjubkan.

Saat yang dinanti-nanti pun tiba. Mula-mula mentari masih malu-malu untuk muncul, saat mentari malu lah tercipta gradasi dan perpaduan warna yang menakjubkan. Langit saat itu menyajikan pemandangan yang indah, bahkan sulit diabadikan dengan kamera sekalipun. Dan saat mentari mulai berani dan memancarkan sinarnya penuh semangat, memang saat itu tidak terjadi pemandangan indah seperti sebelumnya, namun sinarnya memberikan kehangatan dan kenyamanan yang #sodara impikan sejak malam. #sodara putuskan untuk tidak menikmati pagi hari dari puncak gunung Bromo, karena dari dekat tempat camp mereka pun sudah tersuguhkan pemandangan indah yang sayang untuk dilewatkan.


Saat-saat sunrise...

GELANG SEPATU GELANG

Setelah puas menikmati opera alam yang ada di kawasan Bromo sejak hari yang lalu hingga pagi ini, #sodara memutuskan untuk segera bergegas pulang selagi sinar mentari yang masih ramah buat kulit mereka. Setelah seluruh peralatan camp sudah beres dan siap, tiba lah saatnya #sodara dan Doni berpisah, saling lempar terimakasih dan doa pun terjadi diantara mereka.

sok imut, di depan tenda imut...




Sebelum meniti jalan pulang #sodara sarapan dulu di warung-warung yang sudah banyak berdiri di kaki gunung Bromo. Dan menunya sama seperti kemaren, Mie instan dan susu atau kopi. Gak ada sehat-sehatnya, tapi tak mengapa karena hanya itu yang ada dan setidaknya bisa menjadi pemompa tenaga untuk mengarungi pasir berbisik. Yah kali ini rute yang #sodara ambil untuk pulang berbeda dengan saat berangkat, perjalanan pulang #sodara melalui Pasir Berbisik. Dan sekitar pkl 08.31 WIB #sodara sampai di gerbang masuk Taman Wisata Bromo dan mereka putuskan untuk istirahat sejenak di musholah terdekat sebelum melanjutkan perjalanan berikutnya.

Tidak jauh dari tempat istirahat, akhirnya #sodara temukan bison yang akan membawanya ke terminal Probolinggo. Sekitar pkl 09.10 WIB bison meluncur dari kawasan wisata gunung Bromo menuju kota Probolinggo, saat itu bison masih lenggang, hanya #sodara dan 2 orang wanita penduduk lokal yang akan ke kota. Perjalanan dengan bison ini tidak selancar yang dibayangkan, perjalanan dilalui begitu lama dan menjengkelkan. Mulai dari kemarahan sopir bison karena penumpangnya direbut mobil lain yang bukan trayeknya, sampai-sampai tokoh setempat turun tangan untuk menyelesaikannya, jadilah penumpang yang direbut itu pindah ke bison #sodara. 6 orang bule, entah darimana. Dari aksennya mereka berasal dari eropa timur #asaltebak. Tak banyak percakapan antara 6 bule itu dengan penumpang lainnya, mungkin karena sama-sama segan dan capek. Dan kejengkelan yang kedua adalah ngetem. Kalian mesti tahu apa itu ngetem, kalo gak tahu cari saja di mbah google. Dan kalian pasti jengkel ketika angkutan yang kalian tunggangi harus ngetem semakin lama semakin memuncak rasa jengkelnya. Bison yang #sodara naiki gak hanya ngetem 5-10 menit, tapi sampe satu jam. Bayangkan, SATU jam. Enam Puluh Menit. Tiga Ribu Enam Ratus detik yang harus #sodara lalui dengan melamun menunggu sang sopir memacu bisonnya kembali. Dan dalam ngetem yang menjengkelkan itu, kegilaan terjadi...dalam suasana yang hening *capek semua, tiba-tiba keenam bule dalam bison teriak keras yang sontak membuat kaget penumpang lain, dan...dan...gak Cuma bikin kaget, mereka tiba-tiba ngeloyor berlarian keluar dari bison dan berlari entah ke mana. Dasar bule gila, tanpa permisi tanpa apa-apa langsung pergi aja, sampe-sampe dibilang kambing sama warga lokal yang satu bison. “Dasar wedus, ora tahu tatakrama...” ucap penumpang tersebut dengan geram. Akhirnya sekitar pkl 11.30 WIB #sodara sampai juga di Terminal Probolinggo.

Dengan memanfaatkan fasilitas di terminal, #sodara istirahat, mandi, sholat, makan, charge, dan lain-lainnya. Cukup lama waktu yang #sodara habiskan di terminal, maklum mandinya udah kayak kerbau berkubang dilumpur, enggan untuk usai. Yah wajar saja, #sodara sudah gak mandi beberapa hari, sekalinya mandi gak mau selesai hehe. Sekitar pkl 14.47 WIB #sodara meluncur ke Surabaya menggunakan bus Mila. Bus ini cukup nyaman dibandingkan bus-bus selevelnya, bayangkan saja hanya dengan Rp. 13.000 per orang, sudah dapatkan fasilitas AC dan juga musik tiada henti baik dari tape mobil, pengamen maupun asongan. #sodara memilih duduk di kursi paling belakang, berjejer mereka berempat. Faizal, Fitri, Deddy, dan Uda. Dan hal konyol yang manusiawi sebenernya menghiasi perjalanan ke Surabaya. Siapa yang tertidur maka akan dengan mudah dalam posisi tidur dengan kepala mendongak ke atas dan mulut ternganga. Dan seolah Faizal enggan kehilangan momen tersebut, dia iseng mengabadikan momen tersebut. Dan korbannya adalah Uda dan Deddy haha. Fitri enggan tidur karena takut jadi korban keisengan Faizal.

Ada hal yang unik dalam perjalanan ke Surabaya ini, selain hal-hal konyol di atas, kehadiran pengamen menjadi warna tersendiri, lagu yang mereka bawakan bermacam-macam, dari yang sering kita dengar sampai yang tidak pernah kita dengar, entah mungkin aliran baru. Satu yang membuat menarik, salah seorang pengamen menyanyikan sebuah lagu tentang pancasila, nadanya datar biasa saja, tapi isinya cukup wah untuk ukuran pengamen tersebut. Melalui lagu tersebut, pengamen mengingatkan kepada seluruh pendengar/penumpang akan nilai-nilai pancasila, agar senantiasa hidup berbangsa dan bernegara sesuai dengan filosofi dasar bangsa ini, Pancasila. Wow!!! semakin jauhkah kita meninggalkan filosofi Pancasila dalam berbangsa dan bernegara, sampai-sampai harus diingatkan oleh seorang pengamen.

Sama halnya dengan di Terminal Probolinggo, saat #sodara sampai di terminal Purabaya, Surabaya pkl 17.30 WIB, mereka tidak langsung bergegas mencari bus tujuan jogja. Tapi mereka istirahat, sholat dan makan terlebih dahulu. Baru sekitar pkl 18.45 WIB #sodara meluncur ke Jogja menggunakan bus Mira ekonomi AC dengan tarif Rp 34.000 per orang. Sebagian besar perjalanan dilalui dengan istirahat dan sesekali ketika #sodara terjaga, mereka saling bercanda dan tidak lupa membully, dan yang menjadi target utama mereka adalah Faizal. Sampai-sampai Faizal harus bertanya rute bus tersebut pada kondektur untuk menolak bullyan mereka, terutama dari Uda dan Fitri. Dan akhirnya JOGJAAAA!!!! Pkl 02.28 WIB bus sampai di tujuan akhirnya, terminal Giwangan Yogyakarta. Dan usai sudah perjalanan #sodara kali ini. Perjalanan yang cukup menarik, ceria, mencekam, gembira dan alhamdulillah selamat.


Janji Suci!!! (part 1)
Janji Suci!!! (part 2)

And what next, #sodara?

Biarlah untaian kata ini terlalu panjang bahkan bertele
Tak apa, kuakui itu bahkan ku inginkan seperti itu
Karena ku ingin setiap momen terukir pasti
Hingga kelak,suatu saat nanti  kita tersenyum, tertawa dan haru membacanya
Untukmu #sodara

Salam, Pejuang Mimpi

Read more

0 Janji Suci!!! (part 2)




(Backpacker ke Bromo, 21-24 September 2012) 
LANGKAH MENUJU PUNCAK

Untuk memasuki kawasan Bromo, pengunjung harus membayar tiket masuk, tak terkecuali #sodara, sebesar Rp.6.500,- per orang untuk pengunjung Domestik. Untuk berkeliling dan menjelajahi Bromo, terdapat berbagai alternatif seperti menyewa mobil Jeep yang denger-denger biaya sewanya mencapai Rp.500.000an per mobil, bisa juga naik ojeg ongkosnya berkisar Rp.50.000- Rp.100.000,-an, ada juga dengan naik Kuda sekitar Rp.100.000,- ongkosnya atau dengan berjalan kaki seperti yang #sodara pilih, hanya bermodal tenaga, tekad, dan semangat saja hehe.

Awal Perjalanan...
Inilah perjalanan sesungguhnya, mencipta jejak menuju puncak Bromo. Tepat pkl. 14.00 WIB #sodar mulai menjejakkan kaki demi menggapai puncak Bromo, mereka harus mengarungi padang pasir yang luas. Dengan mengikuti rute-rute mobil, motor dan kuda, mereka berjalan dengan penuh antusias diiringi terik matahari dan hembusan angin yang menyapu  butiran pasir yang mengharuskan #sodara memakai pakaian yang menutup seluruh tubuh dan kaca mata untuk melindungi mata dari butiran pasir yang berterbangan. Tegur sapa, dan berbagi senyum hangat dengan pengunjung maupun warga lokal mewarnai perjalanan #sodara mengarungi lautan pasir ini. Dan tidak lupa mereka mengabadikan perjalanan ini dalam sebuah potret, karena “no pict, hoax”.
Dalam Perjalanan...
Setelah berjalan kurang lebih satu jam, sekitar pkl 15.00 WIB mereka menemui sebuah warung yang terletak di samping sebuah bungker. Yah, adanya warung super semi-permanen di hamparan padang pasir yang luas ini sempat membuat #sodara heran, Kok ada?. Tepat di sebelah barat warung tersebut, terdapat sebuah Bungker, yang berfungsi sebagai Toilet dan Mushola, hal ini juga sempat membuat mereka tak percaya. Kok bisa?. Yah Bromo memang lain daripada yang lain. Di Pegunungan Bromo ini sudah terdapat berbagai macam fasilitas penunjang demi terciptanya objeck wisata yang nyaman bagi keluarga. Terdapat dua buah bungker yang difungsikan sebagai toilet di kawasan Pegunungan Bromo, selain itu juga dapat dengan mudah kita temui warung-warung yang menjajakan makanan dan minuman dari pagi hingga sore hari, tentunya dengan harga yang sepantasnya dan rasa yang sekenannya.

#sodara sejenak singgah di warung tersebut untuk meregangkan sendi yang mulai keras dan mengisi perut yang mulai keroncongan. Mereka memilih untuk menyantap mie instan ditemani kopi ataupun susu hangat, tahu kenapa? ya karena hanya ada menu itu hehe, gak ada yang lain. Terjadi obrolan hangat di warung itu, tidak hanya antar #sodara, tapi juga dengan penjual dan sopir-sopir Jeep, serta pengurus objeck wisata Bromo yang kebetulan sedang singgah di warung itu. Tahu kah kalian, ternyata penjual tersebut bukan berasal dari kawasan Bromo, dia adalah seorang wanita sekitar 30-40 tahun usianya, berperawakan tidak tinggi, agak hitam dan memakai kerudung ini harus berjalan dari rumahnya membawa barang dagangannya sejak pkl. 03.00 WIB pagi agar bisa mencapai Bromo pkl.05.00 WIB. Perjuangan yang super sekali!!!. Supir-supir Jeep yang #sodara temui sekilas tidak asing di mata Faizal, menurutnya supir-supir itu pernah muncul dilayar TV pada program-program FTV yang memang sering mengambil lokasi syuting di Bromo, hmm entahlah. Saat berbincang dengan pengurus objeck wisata Bromo, sempat membuat keteguhan #sodara menciut dan membuyarkan rencana mereka. Dari pengurus itu, diinformasikan bahwa suhu Bromo pada malam atau dini hari bisa menyentuh angka di bawah nol derajat, minus. Sehingga jadi alasan yang cukup untuk melarang pendaki bermalam di kawasan Gunung Bromo, dan hanya diizinkan ngecamp di dekat pos jaga tepat di samping gerbang masuk kawasan Bromo dan masih di sekitar perumahan warga. Rencana awal yang sudah bulat untuk ngecamp di gunung Bromo mulai goyah, tentunya #sodara harus mengutamakan keselamatan, karena tidur tanpa tenda dengan suhu dibawah nol derajat dan hanya mengandalkan sleeping bag sama saja dengan bunuh diri, bisa mati kedinginan. Namun keinginan untuk ngecamp tetap ada, karena akan mempermudah #sodara menikmati suasana sunrise.

Tampaknya Tuhan menjawab kegundahan hati #sodara, beberapa menit kemudian, datang seorang pendaki dan bergabung dengan #sodara di warung tersebut. Namanya Doni, berasal dari Solo, pernah tinggal di Jakarta, dan sekarang tinggal di Sidoarjo. Dia bekerja di sebuah pabrik lampu hemat energi bagian sales di daerah Surabaya. Umurnya sekitar 25 tahun ++, mukanya sangat khas jawa (kejawen). Dengan menggunakan motor astrea jadul(sorry sebut merk) Doni menghampiri warung tempat persinggahan #sodara. Bercakap-cakaplah mereka dalam balutan hangatnya kopi di padang pasir Bromo. Doni berencana untuk ngecamp seperti halnya #sodara, bedanya Doni membawa perlengkapan camping lengkap dengan tenda dan lain sebagainya, tapi dia sendirian. Dia mencari teman untuk berbagi cerita dan berbagi api unggun yang menghangatkan. aha!! Sebuah kesempatan bagi #sodara untuk melaksanakn semuanya sesuai rencana. Dengan jurus jitu, memainkan kata-kata dan melobby, Faizal berbincang dengan Doni lebih lanjut, berusaha untuk mengakomodir keinginan #sodara dan Doni. #sodara butuh tenda dan Doni butuh teman, sebuah simbiosis mutualisme. Akhirnya mereka sepakat untuk ngecamp bersama-sama. Selesaikah semua masalah?? Eits, ada satu lagi, yaitu pengurus objeck wisata Bromo, pendaki dilarang ngecamp di kaki Gunung Bromo.  Langkah konyol dan berani mereka ambil. Mereka tetap akan ngecamp di kaki Gunung Bromo tanpa seizin dan tentunya tanpa sepengatahuan pengurus (DON’T TRY IT !!!). Huftt selesai sudah permasalahan yang menghalangi #sodara untuk ngecamp.

SUMMIT ATTACK !!!
siaaap, puncak kami dataang!!!
Setelah istirahat cukup dan perut pun kenyang, mereka (#sodara dan Doni) sepakat untuk melakukan pendakian puncak gunung Bromo sore itu juga. Waktu itu jam menunjukkan pukul 15.30 WIB, mereka telah siap untuk melakukan summit attack, dengan penuh semangat dan antusias mereka beranjak dari warung tersebut menuju puncak gunung Bromo, dengan berjalan kaki tentunya. Yah bagi mereka, tidak ada cara lain dan tidak ada kata lain selain jalan kaki. Selepas dari warung mereka harus melewati padang pasir yang tidak sepanjang perjalanan awal (start – warung), sekitar kurang lebih 3 KM hingga mencapai kaki gunung Bromo. Dalam perjalanan mengarungi padang pasir tersebut mereka melewati sebuah pura besar yang merupakan tempat peribadatan umat Hindu masyarakat suku Tengger. Kaki gunung pun berhasil mereka capai dan pendakian sesungguhnya akan segera dimulai. Dibandingkan gunung-gunung yang berada di Indonesia, Gunung Bromo termasuk gunung yang tidak tinggi, bahkan pendek. Sehingga memang tidak terlalu sulit untuk ditaklukan bagi Deddy dan Faizal yang sudah sering mendaki gunung-gunung yang jauh lebih tinggi. Tapi bagi Fitri dan Uda adalah tantangan tersendiri bagi mereka, karena mereka memang baru pertama kali mendaki gunung. Fitri dan Uda cukup tergopoh-gopoh menopang badan plus barang bawaan (carier beserta isinya) menaiki gunung Bromo meskipun sudah tersedia tangga yang memudahkan pendakian. Pendakian pun cukup lambat dan menghabiskan banyak waktu, namun hal tersebut tidak menjadi masalah karena yang paling penting adalah kebersamaan. Mereka bersama-sama melakukan pendakian, mereka juga harus menikmati puncakpun bersama-sama.

Alon-alon asal kelakon. Mungkin itulah gambaran pendakian mereka, setiap beberapa meter mereka istirahat barang mengambil nafas ataupun minum untuk mengobati rasa dahaga dan yang pastinya mereka saling membantu dan menyemangati satu sama lain, tentu dengan cara mereka sendiri. Memberi motivasi, mengejek, dan yang paliang sering adalah bersama-sama menyoraki kata “semangat, semangat, semangat !!! se ma ng at” bahkan saling semangat tidak hanya dari mereka saja, tapi juga dari pendaki lain, setiap berpapasan dengan pendaki lain senyum dan sapa adalah suatu yang pasti dan saling menyemangati adalah bumbu pemanis pendakian. Yah karena setiap pendaki adalah keluarga mereka punya tujuan yang sama, yaitu puncak. Dan mereka punya harapan yang sama bagi dirinya dan pendaki lain, yaitu menggapainya. Meskipun pendakian berjalan lambat, #sodara tidak merasa rugi, karena senantiasa bersama dan diiringi suasana senja yang indah di gunung Bromo. Gak ada ruginyaa. Kadang sejenak dalam istirahatnya mereka tak saling bicara, hanya menebar pandang ke seluruh penjuru, menikmati indahnya pemandangan kawasan gunung Bromo saat itu, pemandangan yang indah dan menakjubkan itu dapat memompa dan menstimulus semangat mereka untuk menggapai puncak tertinggi gunung Bromo. Seketika lelah dalam diri mulai lelah mengejar mereka, putus asa yang sempat tersirat mulai padam digantikan kobaran semangat menggebu demi satu tujuan, puncaak!!!.

Selama dalam pendakian pula, dapat dengan mudah ditemui masyarakat sekitar yang menjajakan bunga edelweis yang telah dirangkai demikian rupa bahkan ada yang diwarnai demi menambah keindahan dan menarik pendaki untuk membelinya. Bunga edelweis adalah bunga keabadian, bunga yang hanya tumbuh di daerah pegunungan tapi yang jelas di gunung bromo bunga edelweis tidak ditemui. Lantas dari mana penjual itu mendapatkannya? Usut punya usut, tanya punya jawab, bunga edelweis tersebut mereka dapatkan dari gunung Semeru. Edelweis adalah bunga yang dilindungi, kenapa mereka dapat memetiknya dan memeperjual belikannya, apakah mereka memiliki keistimewaan untuk itu? Ah entahlah. semoga edelweis tetap jadi bunga abadi dan tetap abadi.

Beratus-ratus anak tangga mereka lewati, beribu-ribu gumpalan tanah dan pasir mereka tapaki dan berjuta-juta butiran debu mereka pijak akhirnya satu kata terucap. “puncaaaak!!!. Sekitar pukul 16.45 WIB akhirnya mereka mencapai puncak juga. Tidak ada yang tidak mungkin, dengan bawaan badan dan barang yang wahpun bisa mencapai puncak, #sodara contohnya, terkhusus Fitri hehe. Hanya satu kuncinya, Tekad. Itu yang diperlukan dan dibutuhkan untuk menaklukan tingginya gunung bahkan dikehidupan pun kunci tersebut dapat membuka gerbang-gerbang kesuksesan bagi kita semua.
ayo teriaak: "puncaaak..."
Wow! puncak. Semoga menjadi kenangan indah buat mereka. Suasana puncak Bromo saat itu tidak terlalu ramai hanya 2-3 rombongan saja yang ada di puncak saat itu, mungkin karena sudah sore. Mereka bersyukur puncak saat itu tidak ramai, mereka dapat dengan tenang menikmati pemandangan dari puncak Bromo yang sulit digambarkan dengan kata-kata, terlalu indah. Menikmati sunsite, sang mentari malu-malu menyapa dengan ronah merah yang indah saat kembali keperaduannya. Menikmati sejuknya puncak gunung Bromo. Menciumi sengatan belerang dari kawah gunung yang enggan muncul tertutup kabut. Mengabadikan momen dengan beberapa jepretan. Menengok rute perjalanan yang mereka dilewati dan membuat mereka tak percaya, betapa jauhnya. Dan menikmati indahnya kebersamaan #sodara (Deddy, Faizal, Fitri, Uda) dan Doni di puncak gunung Bromo, momen yang indah dan takkan mungkin terulang lagi. Semoga menjadi kenagan indah bagi mereka dan menjadi salah satu momen penguat ikatan kebersamaan mereka.

Read more

0 Janji Suci!!! (part 1)

(Backpacker ke Bromo, 21-24 September 2012) 

Ke Bromo yuk? Ajak salah seorang teman, sebut saja Fitri Ramadhani Rosha. Awalnya kita (Tim KKN 63 UGM 2012) hanya menganggapnya angin lalu saja, tak pernah sedikitpun niat untuk ke Bromo saat itu. Lambat laun bukannya semakin padam, malah semakin menggebu-gebu niatan Fitri untuk ke Bromo. Usut punya usut ternyata ini terkait dengan tugas akademiknya, Riset? Kunjungan? Penelitian? Bukan. Tapi skripsi, loh apa hubungannya skripsi dengan ke Bromo? Apakah skripsinya tentang Bromo? Jelas bukan, karena Fitri mahasiswa tingkat akhir Jurusan Perikanan UGM, dan di gunung Bromo tidak ada ikan, apalagi nelayan hehe jadi tidak ada hubungannya.

Perjalan ini adalah sebuah Janji Suci bagi Fitri, dia telah berjanji setelah melakukan perjalanan ke Bromo akan benar-benar fokus pada tugas akademiknya, skripsi. Nah ini nih hubungannya antara Bromo dan Skripsi Fitri. Jadi semakin cepat ke Bromo, dia akan semakin cepat fokus skripsi, dan itulah kenapa Fitri begitu ngotot untuk ke Bromo. Setelah mengajak teman-teman KKN 63 UGM 2012 dalam beberapa kesempatan dan dalam setiap kesempatan. Hasilnya tidak seperti yang diharapkan, dari 19 orang yang diajak, hanya 3 orang yang bersedia ikut dan akhirnya bersama-sama melakukan perjalanan ke Bromo, Kabupaten Probolinggo Jawa Timur.

Selain Fitri, perjalanan ini juga diikuti oleh Muhammad Syukri, mahasiswa Hukum UGM yang lebih akrab kita sapa Uda karena asalnya dari Payakumbuh. Deddy Zulhandy, mahasiswa Psikologi UGM asal Palembang yang punya pemikiran unik dan yang terakhir adalah Akhmad Faizal Khabibi, mahasiswa Teknik UGM yang telah 3 tahun merantau di Jogja. Fitri, Uda, Deddy, dan Faizal pernah bekerja sama dan hidup bersama selama kurang lebih 1 bulan di pedalaman Papua, tepatnya di Kampung Yakati, Distrik Wamesa, Kabupaten Teluk Bintuni, Papua Barat dalam program KKN PPM UGM 2012. Dengan banyak hal yang telah dilalui dan hadapi bersama, kita sebut saja mereka #sodara (Fitri, Uda, Deddy, & Faizal).

Tidak seperti perjalanan pada umumnya yang melalui persiapan yang panjang dan matang, #sodara baru memutuskan untuk melakukan perjalanan ke Bromo adalah satu hari sebelumnya. Yah sungguh mendadak, dan tentunya tidak bisa melakukan persiapan dengan matang, namun itulah yang seru. Pada malam hari sebelum keberangkatan, selepas halal bil halal KKN unit 63 di Jejamuran tepatnya, #sodara memutuskan untuk backpacker-an ke Bromo, kenapa? Jawabannya hanya dua dan sederhana, yaitu seru dan irit.

Setelah melakukan sedikit persiapan dan packing barang yang sekiranya dibutuhkan selama perjalanan. #sodara telah siap dengan perlengkapan masing-masing. Diantara #sodara, hanya Faizal yang menggunakan tas ransel biasa, lainnya menggunakan tas Carier yang memang dibuat untuk pendakian. Dan dibandingkan dengan ke-tiga temannya, Fitri membawa carier paling besar dan perlengkapan paling banyak, rempong sih, tapi wajarlah dia kan satu-satunya perempuan dalam rombongan ini jadi memang memerlukan hal-hal ekstra dibanding yang lain.

INILAH PERJALANAN #SODARA KE BROMO

“Kita naik kereta Gaya Baru Malam jam 21.40, ngumpul di lempuyangan jam 21.20 yaa sodaraa :D” sms Fitri dengan penuh antusias ke Deddy, Uda dan Faizal. Dengan tekad yang semakin membulat, bawaan yang telah tersemat, dan tiket yang sudah di tangan, #sodara berkumpul di stasiun Lempuyangan seperti yang di-sms Fitri. Deddy adalah orang pertama dari rombongan yang sampai di TKP, disusul Faizal, Uda dan Fitri.

Kereta ekonomi dengan tiket Rp 33.500,- ini akan menghantar #sodara hingga Surabaya. Ongkos tentunya menjadi alasan utama #sodara memilih menggunakan kereta GBM, murah, meriah, dan akan kau lihat salah satu wajah Indonesia di dalamnya. Di tiket tertera pkl.21.40 WIB adalah jadwal keberangkatan GBM dari stasiun Lempuyangan, namun tepat pkl. 21.40 WIB kereta belum juga tiba. “Yang tertulis tak semuanya terlaksana, keadaan ideal hanya dalam teori dan buku” gumam Faizal dalam hati. Sudah menjadi rahasia umum kalo kereta ekonomi pasti terlambat dari jadwal yang telah ditentukan, bahkan dibeberapa masyarakat telah terbentuk stigma “kalo gak telat ya bukan kereta ekonomi” tentu hal ini tidak baik dan tidak boleh dibiarkan berlarut dan berlanjut. Akhirnya sekitar pkl.22.05 WIB GBM yang akan menghantar #sodara ke Surabaya datang juga. Saat itu GBM tidak terlalu penuh, dan tak seramai biasanya. Semua penumpang mendapatkan tempat duduk, tidak ada yang berdiri. #sodara duduk di nomor 7 D-E dan 8 D-E gerbong 6, tepat dibelakang gerbong restoran. Dan untuk pertama kalinya Fitri tahu di dalam kereta sekelas GBM ada restorannya haha *kasihan, bahkan dia sempat kaget dan tak percaya saat Faizal bilang gerbong #sodara berada di belakang gerbong restoran.
Di Stasiun Lempuyangan, Yogyakarta
Harus diakui, sekarang pelayanan Kereta Api sudah lebih baik, kini tidak ada lagi penumpang berdiri, tiket harus sesuai kartu identitas (KTP) sehingga memaksa calo lebih kreatif mencari pekerjaan lain(semoga halal), tidak ada asap pembunuh(red-rokok) berterbangan dalam gerbong, dan tetap mempertahankan hiburan utamanya, yaitu pengamen dan asongan yang selalu setia menemani selama perjalan. Oh I Love Indonesia. Namun tentu saja banyak hal yang harus dikritisi dan diperbaiki demi Indonesia yang lebih baik, seperti masalah jadwal, kebersihan, kondisi kursi, jendela, kaca dan sebagainya.

Selama perjalanan bersama GBM, #sodara isi dengan ngobrol ngalor-ngidul, bercanda, saling membully dan ketawa-ketiwi ceria serta istirahat mengumpulkan tenaga untuk pendakian esok hari. Sekitar pkl.03.05 WIB pagi GBM sampai di stasiun Gubeng Surabaya dan akhirnya #sodara sampai di Surabaya. Ini adalah untuk pertama kalinya #sodara menginjakkan kaki di stasiun Gubeng, sempat bingung menentukan pintu utama dan muka stasiun yang hingga kini belum terjawab yang mana. Setelah melakukan tawar menawar dengan angkutan setempat untuk mengantarkan ke terminal dan tidak menemui kata sepakat, #sodara memutuskan untuk istirahat sejenak di sebuah warung dekat stasiun Gubeng dan akan melanjutkan perjalanan selanjutnya setelah sholat subuh.

Selepas sholat subuh di sebuah musholah samping warung, #sodara melanjutkan perjalanannya. Tempat yang harus dicapai berikutnya adalah Terminal Purabaya yang terdapat di daerah Bungur Asih, sempat terjadi perdebatan yang cukup sengit antara Faizal dan Deddy, akan nama terminal tersebut, apakah Purabaya atau Bungur Asih. Faizal kekeh dengan Purabaya dan Deddy tak mau kalah dengan Bungur Asih. Tidak ada yang salah dari mereka, secara administrasi terminal tersebut adalah Purabaya, namun masyarakat banyak mengenalnya dengan sebutan Bungur Asih. Untuk mencapainya dari stasiun Gubeng #sodara naik Len (angkot) hingga Wonokromo dengan ongkos Rp.3.000,- lalu dilanjutkan dengan naik Bus Kota jurusan Bungur, dari Wonokromo hingga terminal Purabaya #sodara harus merogoh kocek Rp.4.000 saja. Sekitar pkl.05.40 WIB pagi #sodara sampai di terminal Purabaya.

Terminal Purabaya adalah salah satu terminal terbaik dan terapih di Indonesia, semua berjalan teratur dan tertata rapih. Berbeda dengan terminal-terminal lain di Indonesia. Di terminal ini #sodara sempatkan untuk sarapan pagi sebelum melanjutkan perjalanan ke Probolinggo menggunakan Bus AKDP(Antar Kota Dalam Provinsi). Pkl.06.40 WIB #sodara beranjak ke Probolinggo menggunakan bus Indonesia Abadi jurusan Banyuwangi dengan ongkos Rp.17.000,-. Seharusnya hanya dengan Rp.12.500,- #sodara bisa sampai ke Probolinggo, namun karena terjadi kesalahpahaman antara Faizal dan Uda, #sodara harus membayar lebih. Bus saat itu cukup ramai, bahkan ada penumpang yang berdiri. Dengan bawaan yang tak biasa, setiap orang yang berbincang dengan #sodara akan bertanya “mau ke bromo ya mas mba?”. Semakin intens mendengar pertanyaan seperti itu, maka tandanya Bromo semakin dekat. Yeah!!!. Sekitar pkl.09.15 WIB #sodara sampai di terminal kota Probolinggo.

Setelah istirahat sejenak, #sodara bergegas mencari kendaraan yang membawanya ke Bromo, yah rute yang harus ditempuh selanjutnya adalah Kota Probolinggo-Bromo. Untuk mencapai Bromo dari terminal Kota Probolinggo dapat menggunakan elf, atau warga setempat menyebutnya Bison dengan ongkos Rp. 25.000,-.
Bison, di samping terminal Probolinggo Jatim
Setelah menemukan Bison yang akan ke Bromo dan menaikkan barang bawaan ke atap Bison, #sodara tidak lantas langsung berangkat. Bison baru akan berangkat jika penumpang sudah 10-15 orang. Setelah menunggu sekitar 2 jam, penumpang hanya bertambah 2 orang (1 rombongan), meski sudah cukup lama menunggu Bison tidak pula beranjak karena baru terisi 6 penumpang. #sodara memanfaatkan waktu itu untuk makan dan mencharge HP dan kamera di warung dekat pangkalan Bison.

Mungkin karena sudah frustasi menunggu atau ada keperluan mendesak, rombongan lain (2 orang itu) menawarkan untuk mencarter
Bison saja. Awalnya #sodara cukup keberatan karena untuk menyewa Bison, harus merogoh kocek sampai Rp. 300.000,-/Bison. Tentu angka tersebut terlalu mahal, jadi kalo dihitung-hitung setiap orangnya akan kena ongkos Rp. 50.000,-, hmm jelas diluar jangkauan kantong #sodara. Namun setelah berdiskusi dan negosiasi dengan rombongan lain, mereka setuju untuk mencarter Bison dan masing-masing #sodara hanya membayar Rp. 35.000,-, sisanya ditanggung rombongan lain.

Akhirnya sekitar pkl. 11.20 WIB
Bison yang membawa #sodara ke Bromo meluncur juga. Faizal duduk di depan, di baris ke-dua ada Deddy sendiri, baris ke-tiga ada Uda & Fitri, cuma mereka berdua, dan di baris terakhir diisi rombongan lain. Meski harus melewati jalan yang berliuk-liuk dan tanjakan curam dengan kanan-kiri jurang, perjalanan dengan Bison ini cukup menarik, #sodara disuguhi pemandangan alam yang memanjakan mata, udara yang sejuk dan segar (*goodbye polusi). Sesuatu yang langka dijumpai di kota-kota di Indonesia, termasuk Jogja. Setelah menempuh perjalanan  kurang lebih satu jam, Bison sampai ke tujuan akhirnya, yaitu Taman Nasional Bromo.

Setelah turun,
#sodara langsung dihampiri beberapa orang yang menawarkan penginapan, penginapan yang ditawarkan saat itu berkisar Rp. 150.000,-an per kamar dan dengan letak cukup jauh dari jalur pendakian. Rate tersebut cukup mahal, bahkan naik berkali lipat dari hari biasa. Oh iya, saat itu di Bromo sedang ada acara Road Race, Bromo saat itu cukup ramai, bahkan terlalu ramai untuk suatu objeck wisata alam. Di Bromo, orang yang menawarkan penginapan cukup banyak dengan berbagai macam cara dan mereka “pantang menyerah” dalam menawarkan, bahkan sampai terus-terusan diikuti, seperti yang dialami #sodara. So waspadalah, jangan salah pilih.

Setelah berdiskusi, #sodara memilih untuk menolak tawaran penginapan itu. Disamping terlalu mahal dikantong, #sodara juga bersikukuh dengan konsep backpacker-nya. #sodara putuskan untuk ngecamp. Hal ini sangat aneh dan gila, karena #sodara sama sekali tidak membawa tenda, Deddy hanya membawa Sleeping Bag, Uda dan Fitri masing-masing membawa Sleeping Bag dan Matras, sementara Faizal tidak sama sekali membawa peralatan camping. “biar ada cerita...” ucap Deddy soal keputusan ngecamp ini. Selepas sholat, sekitar pkl 14.00 #sodara memulai perjalanan yang sesungguhnya, menjelajahi Bromo.


Read more

0 Garuda Telah Terbang (part 2)

(Pendakian Gunung Merapi 12-13 Mei 2012)
part 2


(13.45 WIB) Kami menuruni puncak Merapi menuju tenda kami di Pasar Bubrah. Perjalanan turun ini sangat berbahaya, seru dan menyenangkan. Kontras bukan, berbahaya tapi seru dan hepi. Yang berbahaya adalah saat turun, akan dengan sangat mudah batu yang kami pijak jatuh dan menggelinding ke bawah. Dari kerikil hingga batu besar. Setidaknya akan kuceritakan 2 peristiwa tentang batu ini saat kita turun. Pertama adalah aksi heroik dari Helmy, yah dia memang heroik, pahlawan dari Tegal tanpa kenal pegal. Saat itu orang paling depan saat turun adalah Putu, Harlian, Azwar dan disusul Helmy, Dimas serta Faiza berurutan. Seperti yang saya katakan tadi, akan dengan mudah batu jatuh karena kita pijak. Dimas saat itu menginjak sebuah batu tak besar namun tak kecil juga, sebesar kepalan tangan kurang lebih yang tak kokoh tertopang sehingga jatuh dan menggelindinglah batu itu ke bawah, ke arah Helmy dan Azwar yang tepat ada di bawahnya, sepontan kami yang di atas, Aku dan Dimas langsung teriak “awas batu...” syukurlah Helmy mendengar teriakan kami dan bisa menghindar dari jalur jatuhnya batu, tapi Azwar tidak, dia tak mendengar teriakan kami matanya tetap menatap ke bawah tak tahu ada batu yang meluncur ke arahnya tepat mengarah ke bagian kepala. Terbayang dibenakku saat itu, dengan batu sebesar dan secepat itu meluncur, sudah cukup membuat kepala Azwar berlumuran darah syukurlah ada pahlawan muncul disaat dan tempat yang tepat, dengan kakinya, Helmy menghalau batu tersebut persis seperti tendangan voli Zidane ke gawang Bayern Leverkusen saat Final Champion 2002. Gila emang heroik brader kami yang satu ini, sifat pahlawan tak akan muncul begitu saja jika tak dari hati yang penuh kebaikan. Great bro!!!..

Kisah kedua adalah saat kami sudah mencapai titik yang lebih rendah lagi. Dan lagi lagi Dimas. Dimas lagi Dimas lagi. Kini dengan ukuran batu yang jauh lebih besar dan tak mungkin lagi divoli seperti tadi. Kini Dimas berinisiatif turun duluan, so dia mempercepat langkahnya. Dengan langkah yang cepat, tentulah tidak benar-benar bisa memilih pijakan yang aman. Saat itu dia menginjak batu sebesar becak lah kurang lebih. Batu sebesar itu meluncur sangat cepat dan berbahaya, syukur saat itu tidak ada orang di jalur meluncurnya batu itu. Jika ada, entah apa yang akan terjadi aku tak mau membayangkan, hanya Tuhan yang tahu. Sontak gelundungan batu sebesar itu membuat kami kaget, syok, takut dan jadilah kami lebih berhati-hati saat turun. Pelajaran dari peristiwa ini adalah pilih pijakan yang kokoh dalam melangkah, and watch you’r step!!!






Kita tinggalkan yang berbahaya, kita nikmati keseruannya.
Selepas track turun yang penuh dengan batu, kami harus melewati track berpasir menurun yang cukup curam untuk mencapai Pasar Bubrah. Tak ada yang asyik sebenarnya kalau kita melewatinya hanya berjalan saja. Berlari, ya berlari maka akan kau temukan keasyikannya. Dengan kecuraman yang tak biasa, saat kau melewati track berpasir ini. Sekali kau melangkah kan kaki untuk berlari maka tak akan bisa berhenti sampai menemui tanah yang landai. Kalian akan dipaksa berlari dengan kecepatan penuh, jika tidak maka tubuhmu akan tergulung bersama pasir. Lari lah, maka tak akan bisa ngerem, tak tahu ujungnya di mana, tegang, gila dan pada akhirnya kau akan berkata “asyiik juga...”

(14.45 WIB)
Satu jam waktu yang kami butuhkan untuk mencapai tenda kami kembali. Sejenak kami istirahat lalu setelah seluruh perlengkapan telah siap dan area camp kami telah bersih, kami bergegas turun gunung sekitar pukul 15.15 WIB.

Pasar Bubrah, sebelum beranjak pulang...Backgroun Puncak Merapi!!!
Himbauan untuk ku dan kalian yang akan menaklukan gunung manapun, berterimakasihlah karena telah menyuguhkan perjalanan dan pemandangan yang luar biasa minimal dengan tidak mengotorinya dan menjaganya tetap bersih dan asri.
Narsis sebelum turun boleh toh...Background Gunung Merbabu





Kami turun melalui jalur yang sama saat naik, kita berusaha tetap bersama dan melangkahkan kaki lebih cepat dengan harapan terhindar dari gelap gulita malam saat turun.

(18.00 WIB) Kami sampai New Selo, dan istirahat sejenak sebelum melanjutkan perjalanan ke Base Camp.

(18.40 WIB) Dengan diiringi rintikan hujan yang memaksa kami bergerak lebih cepat, akhirnya kami sampai di Base Camp juga. Setengah jam kami habiskan waktu di Base Camp untuk istirahat dan bersiap pulang ke Jogja.

(19.10 WIB) Kami ceck out dari Base Camp Merapi, menulusuri jalanan beraspal dengan pancaran cahaya bulan dan kemilau bintang menemani perjalanan kami menuju Jogja tercinta.

(21.00 WIB) Dengan mengucap syukur kepada Tuhan yang Maha Esa akhirnya kami sampai juga di Jogja yang memang istimewa ini dengan selamat dan membawa semangat. “Jogjaaaa....!” teriakku dalam hati.

Alhamdulillah, terimakasih penuh tulus dan rasa syukur aku panjatkan kepadaMu Tuhan, atas karunia alam negeri ini yang begitu indah dan istimewa, terimakasih telah melindungi kami dalam perjalanan pendakian Gunung Merapi hingga selamat dan membawa semangat, semoga Engkau berkahi, terimakasih telah Kau teguhkan hati kami dalam menggapai puncak tertinggi Gunung Merapi. Dan terimakasih untuk kalian yang telah menjadi bagian dalam perjalanan ini Dimas, Helmy, Harlian, Putu, dan Ajwar. Semoga menjadi perjalanan dan pengalaman yang bermakna.

Aku Cinta kamu, Indonesia!!!

Liat Part1..
Read more

Delete this element to display blogger navbar

 
© Pejuang Mimpi | Design by Blog template in collaboration with Concert Tickets, and Menopause symptoms
Powered by Blogger