Garuda Telah Terbang (part 1)

(Pendakian Gunung Merapi 12-13 Mei 2012)
part 1 

“Puncak Garuda udah terbang mas...” jawab salah seorang dari rombongan pendaki lain saat aku baru saja sampai puncak Merapi dan bertanya padanya “inikah puncaknya?”. Sampai sekarang aku kadang masih gak ngerti sama jawaban tersebut. Mungkin yang dia maksudkan adalah Puncak Garuda yang merupakan puncak tertinggi dari Gunung Merapi (Jawa Tengah). Namun sayang puncak itu tak dapat didaki karena rusak akibat letusan Gunung Merapi 2010 silam.
Puncak Merapi begitu hebat, menyuguhkan pemandangan yang luar biasa, tak henti-hentinya aku mengucap syukur dan kagum kepada Tuhan atas keindahan ciptaanNya. Segerombolan awan putih yang menghiasi langit biru, Gunung Merbabu, Kota Ambarawa dan Jalur Pendakian adalah beberapa pemandangan yang senantiasa buatku takjub, sayang saat itu kawah Gunung Merapi tidak dapat terlihat, karena tertutup kabut yang tebal. Tapi keindahan yang terhampar dari atas Puncak Merapi cukup mengobati rasa lelah dan letih selama pendakian. Tak dapat aku gambarkan betapa indahnya pemandangan saat itu, bahkan jepretan foto pun tak akan berbicara banyak. Keindahan itu tak dapat aku nikmati dengan mudah, perlu pengorbanan dan perjuangan.
Aku (red- Faizal) bersama 5 orang teman-teman jurusanku, Dimas, Helmy, Putu, Harlian dan Ajwar memutuskan untuk mendaki Gunung Merapi demi mengisi waktu luang akhir pekan dan juga mengobati rasa rindu kami akan alam negeri ini. Kami adalah mahasiswa Teknik Elektro UGM Yogyakarta. Satu angkatan, satu konsentrasi dan satu tujuan (saat itu) menaklukan Puncak Gunung Merapi. Dengan membawa Tenda, Kompor, Peralatan Masak, Perlengkapan Makan, Bahan Makanan, Tas Carier, Matras, Senter, Minum, dan perlengkapan pribadi, kita berangkat melakukan pendakian.

Sabtu, 12 Mei 2012
(08.15 WIB) Dengan menggunakan 3 Sepeda Motor, kami berangkat dari Jogja menuju base camp pendakian Gunung Merapi yang ada di Selo, Boyolali. Perjalanan Jogja – Selo kami tempuh sekitar dua jam.

(10.15 WIB) Setelah menyusuri jalan raya Magelang dan Kabupaten Magelang yang dipadati kendaraan pribadi maupun kendaraan umum, kami memasuki jalanan naik-turun dan juga berkelok guna mencapai Selo Boyolali. Sekitar pukul 10.15 WIB kami sampai Base Camp Pendakian Gunung Merapi. Di base camp kita berjumpa dengan pendaki lain yang sudah melakukan pendakian maupun yang akan melakukan pendakian seperti kami.





Setibanya di Base Camp kami manfaatkan untuk istirahat, makan, dan persiapan untuk melakukan pendakian. Dan kepanikan terjadi di sini, bukan karena Merapi erupsi atau jalur pendakian ditutup, tapi karena Kamera yang kami bawa (*punya Dimas) tidak ada memorinya. Lupa, tertinggal dan itu sangat fatal, apa gunanya kamera kalo tanpa memori. “No Pict, Hoax..” seru Ajwar, “lebih baik batal naik kalo gak ada kamera & memori” lanjutnya. Dalam keadaan itu kita mencoba tenang dan mencari solusi terbaik, ada 3 solusi yang muncul saat itu, 1. Kami meminjam memori ataupun adapter ke pendaki lain  atau warga sekitar, 2. Turun ke Magelang untuk beli adapter dan 3. Balik ke Jogja untuk ambil memorinya. Kami sungguh beruntung saat itu, ada warga sekitar yang juga pecinta alam mempunyaI adapter dan mau meminjamkannya kepada kami. Masalah kamera terselesaikan.

(11.45 WIB) Dengan istirahat yang cukup dan persiapan lengkap serta tak lupa kita membawa bekal Nasi Telor dari Base Camp untuk makan nanti, sekitar pukul 11.45 WIB kami memulai pendakian setelah sebelumnya diawali dengan Do’a dan foto bersama. Seperti pada pendakian Gunung pada umumnya, track awal akan terasa berat dan banyak pendaki yang menyerah di sini. Track awal pendakian dari Base Camp berupa jalanan aspal yang naik dan cukup terjal dapat membuat pendaki kepayahan.
Base Camp, start from here...
(12.15 WIB) New Selo, seperti sebuah gardu pandang. Di sini berjejer warung-warung makanan dan minuman ringan milik warga sekitar yang siap mengantar pendaki memulai pendakian dan menyambutnya kembali. New Selo merupakan akhir dari jalanan aspal dan awal dari jalanan setapak yang membelah Gunung Merapi.  Di sini kami sempatkan istirahat dan foto-foto sejenak serta menikmati pemandangan Gunung Merbabu. Yah saat itu dari sini kami dapat dengan jelas melihat kemegahan gunung Merbabu.
New Selo, Background Gunung Merbabu....




Pendakian berlanjut, dari New Selo kami menyusuri jalanan setapak menanjak dengan kanan-kiri jalan dihiasi perkebunan warga. Sepanjang perjalanan membelah perkebunan warga ini, Ajwar yang baru pertama kali naik gunung nyaris menyerah dan turun kembali ke Base Camp. Dengan segala daya upaya, aku, Dimas, Helmy, Putu dan Harlian membujuk dan menyemangatinya untuk terus melanjutkan pendakian hingga akhirnya Ajwar bersedia melanjutkan pendakian. Kami bersama mendaki, maka kami harus bersama menaklukan puncaknya.
Selepas dari perkebunan warga, kami memasuki Hutan Gunung Merapi yang ditumbuhi pepohonan yang cukup rindang sehingga membuat pendakian kami cukup nyaman. Tracknya tidak jauh berbeda namun semakin naik, semakin curam.

(13.25 WIB) Setelah memasuki Hutan Gunung Merapi, sekitar pukul 13. 25 WIB pada ketinggian 2175mdpl, kami menemui persimpangan dua jalur pendakian. Dan menurut pendaki lain, persimpangan tersebut memisahkan jalur Kartini (ke kiri) dan Jalur Utama (ke kanan). Jalur Kartini di kenal lebih landai namun memutar sehingga memerlukan waktu lebih lama, sedangkan jalur utama dapat ditempuh lebih cepat, namun tracknya terjal dan curam. Kami putuskan untuk lewat jalur utama, dengan pertimbangan waktu tempuh yang lebih pendek. Track jalur utama ini didominasi oleh jalanan menanjak berupa tanah, kerikil dan bebatuan sehingga memerlukan kewaspadaan ekstra.




(14.50 WIB) Kami menjumpai tanah yang cukup lapang dan terdapat batu besar di tengah jalur pendakian. Kami beristirahat sejenak dan sholat. Ada sebagian pendaki yang menyebutnya pos 1, namun setelah kita perhatikan tidak ada tanda plang bertuliskan Pos 1 atau tanda khusus yang menunjukkan itu Pos 1. Entahlah apakah itu benar pos1 atau bukan.

(15.15 WIB) Pendakian kami lanjutkan kembali, menyusuri jalur pendakian yang semakin sulit. Jalanan berkerikil, bebatuan menanjak dengan kemiringan sampai 45 derajat adalah track yang harus dilalui untuk mencapai puncak Merapi. Semakin tinggi, jalur pendakian yang harus dilewati semakin sulit. Itulah tantangan yang harus kami hadapi, semangat dan tekad yang kuat adalah modal utama dalam pendakian. “..yang penting tuh tekad!!!” seru Helmy. Menurutnya, untuk mencapai puncak tertinggi, tekad adalah kekuatan tertinggi untuk menggapainya.

Sebelum sampai tempat
ngecamp(mendirikan tenda) kami disuguhi pemandangan yang luar biasa dan mungkin hanya bisa dinikmati dari tempat itu saja, Sunsite. Proses kembalinya sang mentari ke peraduannya menampilkan pemandangan yang luar biasa. It’s so beautifull.
sunsite cing...




(17.30 WIB) Sebelum mentari benar-benar kembali keperaduannya, kami telah sampai di tempat ngecamp, Pasar Bubrah namanya. Dibalik sebuah batu besar kami mendirikan tenda, dengan harapan lebih terlindungi dari terpaan angin kencang. Hari mulai gelap dan dengan waktu yang tidak begitu lama tenda tempat berteduh kami berdiri dan siap dihuni.
Pasar Bubrah adalah sebuah padang luas yang hanya berisi pasir, kerikil, hingga bebatuan besar, tanpa ada tanaman maupun sumber air. Pasar Bubrah adalah salah satu tempat favorit bagi pendaki untuk mendirikan tenda, disamping kontur permukaannya yang cocok untuk didirikan tenda, juga jaraknya yang dekat dari puncak Gunung Merapi, sekitar 45 menit pendakian. Sejujurnya meski mungkin orang lain melihat pasar Bubrah sebagai tempat yang seram, bagiku pasar Bubrah juga menyuguhkan pemandangan yang luar biasa, meski hanya berisi bebatuan dan pasir. Tapi perpaduan dan keharmonisan letak mereka menciptakan kesan yang indah, setidaknya bagiku.

(Malam Mingguan euy..) Bulan mulai menyapa dan mentari telah kembali ke peraduannya. Hari yang semakin gelap, tidak banyak aktivitas yang kami lakukan di luar tenda, kami lebih banyak menghabiskan waktu di dalam tenda, selain kondisi fisik yang lelah dan memerlukan istirahat, juga karena angin yang berhembus cukup kencang. Saat yang lain beristirahat di dalam tenda, Aku dan Dimas keluar, Bintang berkilauan menghiasi langit yang luas menemani rembulan dan gemerlap lampu kota Ambarawa begitu sayang untuk dilewatkan. Tidak lama aku dan Dimas di luar tenda selain angin yang memang sangat kencang dan udara dingin mulai metusuk juga karena tubuh ini butuh istirahat untuk pendakian esok.
Minggu, 13 Mei 2012

(04.45 WIB) Menjelang sang fajar muncul dan waktu subuh tiba, Pasar Bubrah diselimuti kabut tebal yang membawa embun-embun pagi disertai angin kencang dan kadang hujan turun. Keadaan seperti itu berlangsung cukup lama, sehingga memaksa kami berdiam diri di dalam tenda tak bisa menikmati suasana pagi dan sunrise. Cuaca yang kurang bersahabat cukup membuat kami bosan berdiam diri di dalam tenda. Untuk mengusir kebosanan tidak banyak yang bisa kami lakukan, hanya bernyanyi yang mungkin kami lakukan. Dari lagu khas pendakian, Soe Hok Gie you know kan?, lagu nusantara, lagu luar dengan bahasa inggris hingga lagu yang lagi ngetren saat itu, lagu-lagu korea. Dan jagoan karoke dalam tenda itu adalah Harlian, apalagi kalo lagu-lagu korea haha.

(08.30 WIB) Ketika waktu mulai beranjak siang, cuaca Pasar Bubrah Gunung Merapi mulai cerah bahkan kadang kami dapat melihat puncak Merapi dari samping tenda.
Kami senang kegirangan karena dapat keluar dari tenda dan dapat melakukan aktivitas yang kami inginkan, kayak anak kecil yang dikasih gulali sama pamannya. Saat itu kami manfaatkan untuk memasak, sarapan, dan beres-beres.




(11.00 WIB) Baru sekitar pukul 11 siang kami beranjak dari tenda untuk melakukan pendakian ke puncak Merapi. Seluruh barang bawaan kami tinggal di tenda bahkan kami lupa membawa air minum, hanya kamera dan pakaian yang melekat di badan yang kami bawa dalam Summit Attack. Tidak ada rasa takut kehilangan barang yang kami tinggalkan di tenda saat summit attack, tahu kenapa? Kami yakin tidak akan mungkin ada pencurian di atas gunung, karena kita saudara, dan sesama pendaki adalah saudara, yang saling menjaga dan memberi. Bukan saling mencaci dan mencuri. Yah sekali lagi, karena kita saudara.



Summit Attack ini sangat menguras tenaga dan konsentrasi. Track pendakian dari Pasar Bubrah cukup sulit untuk ditaklukan karena memiliki kemiringan 60 derajat hingga 70 derajat(mungkin) ditambah jarak pandang yang hanya sekitar 10 m karena terselimuti kabut. Cukup terjal dan curam. Track didominasi oleh pasir, kerikil dan bebatuan. Track pasir dan kerikil cukup sulit kami taklukan karena pijakan yang tak kuat buat kami mudah terpeleset. Sementara track bebatuan cukup membuat kami berhati-hati dan perlu kewaspadaan ekstra, karena bebatuan dapat sewaktu-waktu berjatuhan dari atas bahkan batuan yang kami pijak pun dapat dengan mudah jatuh ke bawah. Hal tersebut cukup berbahaya karena ukuran batu yang jatuh dapat menyebabkan luka bahkan kematian jika terkenanya. Untuk mengatasi hal tersebut, para pendaki harus memberitahu pendaki di bawahnya ketika ada batu yang jatuh, dengan berteriak “Awas Batuu..!” atau “rock!!!”.
Jika cuaca cerah dan kabut menghilang, saat summit attack pemandangan yang luar biasa akan terhampar jelas dan indah. Kokohnya Gunung Merbabu dengan alam yang menyelimutinya, kota Ambarawa yang teduh dan langit dengan hiasan awan putih cukup mengobati keletihan dan memompa semangat kami untuk segera mencapai puncak Merapi.




Tidak ada track pasti dari pasar Bubrah ke puncak Merapi, kami hanya mendaki mengikuti bekas aliran air dengan bermodal insting dan semangat. Orang paling depan dalam summit attack ini adalah aku, Faizal, yang bertugas menentukan jalur pendakian dan yang paling terakhir adalah Dimas, sebagai sweeper agar tidak ada yang tertinggal dari rombongan.

(12.45 WIB)
Setelah melewati pendakian yang sulit dan melelahkan, akhirnya teriakan PUNCAAAK!!! Pun terdengar dan kami dapat mencapainya dengan selamat. Dari ketinggian 2965mdpl (Puncak Merapi) kami dapat menikmati pemandangan yang luar biasa dan sudah cukup mengobati rasa lelah kami. Goresan awan putih menghiasi langit biru indah tak terelakkan. Hamparan Pasar Bubrah tersuguh jelas penuh bebatuan yang cadas indahnya. Kota Ambarawa terlihat rapi dan tenang dari keheningan puncak Merapi. Namun sayang, kawah merapi enggan muncul terselimuti tebal kabut putih. Kami tak hanya berada di puncak Merapi yang gagah tak terelakkan tapi kami juga berada di atas awan. Indah dan kagum tak pantas rasanya mendeskripsikan pemandangan saat itu. Oh God I Love Indonesia.
“1...2...3... puncaaaak” serentak kami berteriak seolah melepas semua beban, penat dan lelah. Nikmat rasanya. Tak peduli apa kata pendaki lain melihat kelakuan kami tersebut, itu adalah tradisi bagi kami, luapan emosi setelah melalui perjuangan panjang untuk mencapai titik tertinggi, dan itu senantiasa kami lakukan di setiap puncak yang kami taklukkan. Tak lupa kita abadikan suasana saat itu dalam jepretan kamera. Setelah puas, kamipun bergegas untuk turun dan pulang.
Di atas awan bro...goyang dulu ah!!!

comment 0 komentar:

Posting Komentar

Delete this element to display blogger navbar

 
© Pejuang Mimpi | Design by Blog template in collaboration with Concert Tickets, and Menopause symptoms
Powered by Blogger